https://pixabay.com/users/marisa_sias-526173/ |
Dua orang mahasiswi melajukan sepeda motor dengan penuh semangat. Tujuannya tak lain adalah toko buku 'merakyat' yang akrab dengan masyarakat Jogja. Di sana mereka berkeliling mengincar book reference untuk menunjang kelancaran pendidikan sarjana. Tawar-menawar atau hanya sekadar ngobrol dengan penjual tak bisa dihindari. Terlebih keduanya menempuh jurusan Ekonomi hingga benar-benar ingin menangkap peluang buku dengan opportunity cost lebih profitable.
Di tengah bargaining, seorang bapak penjaja buku mengeluarkan sesuatu dari kantong plastik hitam. Isinya adalah buku dengan judul yang mereka cari. Namun sebuah kejanggalan terjadi. Bapak tersebut beberapa kali tengok kanan-kiri, seolah ingin bersembunyi dari keadaan. Kala dua perempuan itu kebingungan, akhirnya bapak penjual melontarkan kalimatnya.
"Ini bukunya lebih murah, Mbak. Lebih hemat," ucap beliau sembari menambahkan nominal harga.
Kedua perempuan itu terkejut. Keduanya memulai kalkulasi biaya sesuai porsi masing-masing. Hingga keduanya berpandangan dan menyatakan setuju untuk mengambil buku tadi.
Masih mengendap-endap, bapak penjual memasukkan 2 buah buku ke kantong plastik. Sebuah kartu nama diselipkan.
"Kalau ada temannya yang mau beli, hubungi nomor di kontak ya, Mbak," lanjutnya.
* * *
Sesampainya di kampus mereka sadar jika buku yang mereka beli adalah bajakan. Namun banyak kawan yang juga membawa buku murahan itu di kelas. Ternyata distribusi buku bajakan sudah meluas.
* * *
Salah seorang tokoh dari kisah di atas adalah aku. Selain menemukan buku bajakan di kancah offline, aku juga pernah berjumpa di marketplace. Suatu hari aku tergiur harga miring, pun dengan ongkir masuk akal. Klik order, lalu transfer sejumlah uang.
Saat paket datang, bukunya tak jauh berbeda dari versi original. It's mean that pembajak buku di Indonesia sudah pintar memainkan peran. Meski dicetak dari mesin fotokopi, sususan huruf dalam tiap halamannya mulus. Book paper juga dibuat semirip mungkin dengan aslinya.
Kala itu yang ada di pikiranku hanyalah low budget. Terlebih aku biasa membeli buku dengan uang tabungan sehingga agak perhitungan. Beberapa buku ori bisa menghabiskan saldo part time job yang kumiliki. Atau terkadang harus meminta uang lebih kepada orang tua agar mendapatkan buku asli.
Tak berhenti
sampai di situ, beberapa kali aku sengaja menggandakan buku di copy centre. Jogja memang kota
berkemajuan, fotokopi sesuai dengan aslinya bisa ditemukan di sekitar kampus.
Aku tergolong mudah memesan buku copy-an
dengan harga ¼ dari buku asli baru. Tentu bukan hanya aku yang melakukan hal
tersebut, mahasiswa lain bahkan menjual buku copy murah itu.
Hingga suatu hari aku menemukan artikel yang membahas tentang hitungan kasar produksi penerbitan. Tulisan tersebut diunggah melalui laman Facebook oleh seseorang yang bekerja pada kantor penerbitan ternama. I'm shocked! Kalkulasinya rumit. Pun penuh dengan kejutan tak terduga. Mulai dari royalty penulis yang tak seberapa, profit penerbit tidak banyak, hingga biaya cetak melambung dan kewajiban tagihan pajak.
Pembajakan buku juga terjadi pada sebuah event bazar di Balai Desa Kedawung, Kecamatan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah. Ketika Netizen sudah memergoki, bazar ditutup lebih cepat dari jadwal yang telah ditentukan. Dalam bazar ini, buku bajakan penerbit Mizan dijual jauh dari harga normal.
“Berdasarkan harga yang tertera di foto, misalnya buku Orang-Orang Biasa karya Andrea Hirata yang dijual dengan harga Rp40.000. Padahal bazar buku tersebut tidak terafiliasi dalam even-even diskon besar yang biasa diadakan oleh Mizan seperti Big Bad Wolf dan Out of The Boox. Sudah dipastikan buku tersebut bukan buku original,” kata Narti, Koordinator Distributor Mizan Media Utama di Jogjakarta, dikutip dari Mizan.com
Posisi buku
bajakan ini menjadi penyelamat bagi konsumen sekaligus musuh bagi penerbit. Namun
demikian, negara kita memiliki Undang-undang Hak Cipta yang harus ditegakkan.
Apa pun alasannya, buku bajakan tak bisa diberi ruang bebas.
"Negara juga harus hadir di dalam kasus pembajakan buku. Jangan hanya memungut pajak dari royalti penulis,” --Nasir Tamara, Ketua Umum Satupena, dalam tirto.id
https://pixabay.com/users/stocksnap-894430/ |
Berangkat dari sana, aku mulai meminimalisir penggunaan buku bajakan-meski sulit-. Berikut tips untuk mengurangi konsumsi buku bajakan:
1. Meminjam di perpustakaan.
Selain hemat, interaksi dengan staff perpustakaan dan sesama pengunjung
bisa menambah good mood. Pun bisa
memilih ruang baca sesuai selera. Kini akses perpustakaan sudah terbuka dan
bisa dinikmati semua kalangan. Bahkan perpustakaan keliling mencoba menjangkau
desa-desa.
2. Membeli buku bekas.
Akhirnya aku memakai cara ini lantaran keterjangkauan
buku bekas terbilang mudah. Aku biasa berbelanja buku original bekas melalui marketplace, social media, atau di toko offline. Bila dihitung secara seksama,
harganya tak jauh berbeda dengan buku bajakan baru.
3. Saling meminjam dengan teman.
Cara klasik namun asyik. Buku bisa menjadi
bahan diskusi ilmiah yang bermanfaat. Atau bisa menyambung tali silaturahim
antar penikmatnya. Let's do it! Mudah
dan murah juga.
Membeli buku bekas, itu yang saya lakukan.
BalasHapuswalau tanpa sengaja saya sepertinya juga punya buku bajakan.
Awal saat membeli ya tidak tahu,
Buku bekas favorite aku juga. Hihiiiii soalnya banyak buku bajakan yang mirip dengan versi ori
Hapus