Ada yang pernah nonton film Moana? Ya, gadis pemberani yang bertekad kuat membantu masyarakat sekitar dengan mengembalikan ekosistem. Meski masih belia, Moana tak takut mengarungi lautan dan menerima banyak tantangan. Hujan, badai, dan halangan dari orang lain gak menyurutkan niatnya.
Kalau inget alur ceritanya aku jadi inget peran masyarakat adat di Indonesia. Meski masyarakat adat tak banyak menghiasi sosial media dan televisi, tetapi perannya tak main-main. Mereka seakan menjadi penolong bumi di era modernisasi yang sudah banyak ancaman. Mirisnya ancaman yang terjadi seringkali diakibatkan oleh ulah manusia sendiri.
Siapa Masyarakat Adat?
Baiklah, sebelum membahas lebih jauh, aku share dulu yang dimaksud masyarakat adat, ya. Kebetulan beberapa waktu lalu aku ikut online gathering bersama kak Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Di sini kak Rukka banyak bercerita tentang masyarakat adat di sekitarnya.
Masyarakat adat merupakan sekelompok manusia yang oleh ikatan geneologis dan atau teritorial menyatu turun-temurun lintas generasi, memiliki identitas budaya yang sama dan memiliki ikatan batiniah yang kuat atas suatu ruang geografis sebagai "rumah bersama" yang dikuasai dan dijaga turun-temurun sebagai wilayah dari leluhurnya.
Singkatnya sih masyarakat adat adalah kelompok yang mendiami suatu wilayah dan secara turun-temurun menjaga kelestarian wilayah tersebut, baik dari sisi budaya maupun keseimbangan alamnya.
Oh iya buat yang masih belum paham, aku kasih contohnya ya. Kalau di Indonesia tuh ada masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Negeri Ullath Maluku Tengah, masyarakat adat Dayak, masyarakat adat Bugis, dll.
Potensi Masyarakat Adat
Kalau ngomongin potensi sih banyak banget. Dari sisi ekonomi nih, kebanyakan masyarakat adat sudah mandiri meski terbatas bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya. Wajar saja masyarakat adat masih memilih bergantung pada alam karena ikatan batiniah dengan lingkungannya masih sangat kental.
Dikutip oleh econusa dot id, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Sjamsul Hadi memberikan pemaparan yang menakjubkan.
"Mereka tidak menghabiskan ikan-ikan yang ada di wilayah adat mereka. Mereka ngambil secukupnya, dan memilih ikan-ikan yang layak untuk dipanen,” terangnya.
Jadi menurutku potensi ekonomi masyarakat sangat besar, tetapi mereka juga mengutamakan keseimbangan alam. Bayangkan saja jika masyarakat adat di daerah laut mengeksploitasi hasil panen ikan hanya untuk memupuk kekayaan, wah sumber daya alam kita jadi cepat habis dan mungkin ekosistem terganggu.
Dari sisi budaya, masyarakat adat selalu menjunjung tinggi dan melestarikan tradisi. Ini yang terkadang diabaikan oleh masyarakat modern dengan dalih "jadul" atau "kampungan". Wah wah, padahal kelestarian budaya sangat dibutuhkan sebagai identitas diri bangsa Indonesia.
Tantangan Masyarakat Adat di Era Modern
Sayangnya, di zaman yang serba canggih ini eksistensi masyarakat adat justru berkurang. Faktanya, banyak kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
Nih ya, aku share salah satu data dari online gathering kemarin.
Ada 40 kasus yang menimbulkan korban dan kerugian. Kasusnya macam-macam, mulai dari masyarakat adat dengan perkebunan, pertambangan, pemerintah, kehutanan, hingga TNI/Polri. Miris sekali, karena sebetulnya pasti ada jalan untuk penyelesaian segala masalah. Apalagi kan kita satu NKRI, ya harusnya pakai cara kekeluargaan dong.
Meski sepele, misalnya intimidasi masyarakat adat. Menurutku kalau dibiarkan berlarut-larut bakal jadi ancaman nyata. Itulah mengapa di zaman modern ini masyarakat adat harus lebih membuka diri dan mau beradaptasi dengan zaman. Nggak harus langsung jadi kekinian atau ikut arus barat, tapi setidaknya lebih membuka pikiran.
Pun dengan pemerintah, lembaga swasta, kementerian, dan pihak luar masyarakat adat lainnya. Sebisa mungkin kita saling menjaga. Meski budayanya berbeda, lingkungannya berbeda, tetapi kita satu Indonesia.
Posting Komentar
Posting Komentar