Siapa yang masih menganggap penyakit kusta cepat menular?
Faktanya penyakit kusta tidak mudah menular. Penularannya terjadi setelah proses panjang, itu pun jika melakukan kontak berulang-ulang dengan penyintas. Jadi kalau cuma ketemu penyintas kusta sekali dua kali ya nggak akan tertular. Bahkan keluarga penyintas yang tiap hari bertemu pun belum tentu tertular. Itulah mengapa edukasi tentang kusta masih harus digencarkan.
Lewat mana edukasinya? Menurutku saluran paling efektif adalah "media online". Tau sendiri lah ya, zaman now masyarakat udah punya smartphone yang bisa akses berbagai website. Tinggal bagaimana cara individu bisa memilih berita valid saja. Pastinya masyarakat harus paham dulu informasi dasar tentang kusta, misalnya penyebab, cara penularan, dan cara pengobatannya.
YouTube Live Ruang Publik KBR
Selasa (31/10) lalu aku mendengarkan live YouTube di channel Kantor Berita Radio (KBR) dengan tema "Peran Media Dalam Menyuarakan Isu Kusta". Diskusi ini merupakan hasil kerja sama KBR dengan NLR Indonesia. NLR merupakan non government organization yang berfokus pada penanggulangan kusta dan inklusi bagi disabilitas.
Diskusi ini diawali dengan pemaparan singkat tentang kusta dari host Rizal Wijaya. Ada 16.000-18.000 kasus kusta di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Dengan angka sebesar itu Indonesia menjadi negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia. Angka kasus yang terbilang stagnan ini mencerminkan lemahnya penanganan kusta. Bisa jadi masyarakat juga belum aware karena akses informasi masih minim.
Narasumber Ruang Publik KBR kali ini adalah Ajiwan Arief Hendradi, S.S, Redaktur solidernews.com. Solider sendiri merupakan media online yang konsisten menyuarakan isu difabel. Media ini terbentuk tahun 2012 oleh sejumlah aktivis difabel di lembaga Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB). Solider diharapkan mampu menjadi wadah informasi valid, aspirasi masyarakat, dan ruang bercerita bagi teman-teman difabel.
Selamat Tinggal Diskriminasi
Yaps, teman-teman difabel kerap kali mendapatkan perilaku tak nyaman dari orang lain. Mulai dari stigma negatif, diskriminasi, hinaan, bahkan kesulitan akses dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Hal ini tak ayal membuat difabel, termasuk OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) merasa minder saat berhadapan dengan dunia luas. Padahal mereka juga butuh kehidupan sosial yang layak.
Menurut Mas Ajiwan, salah satu solusinya yaitu menggencarkan edukasi lewat media online. Lewat Solider inilah Mas Ajiwan dan tim menyuarakan segala informasi tentang kusta dengan bahasa yang ringan. Kalau kata Mas Ajiwan "yang penting pesannya sampai".
"Kami selalu konsisten menyuarakan isu kusta. Ada puluhan tulisan tentang kusta (berita, event, edukasi)," kata Mas Ajiwan.
Menurutku, minimal masyarakat tau bahwa kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan rutin. Kusta sendiri disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Cara penularannya melalui kontak erat dalam jangka waktu yang panjang. Nah, pemerintah sudah menyediakan obatnya secara gratis lewat puskesmas di seluruh Indonesia.
Kalau masyarakat sudah paham apa itu kusta dan bagaimana cara penanganannya, insyaAllah sudah tak ada lagi diskriminasi. Maka cara termudah untuk kita melawan diskriminasi yaitu turut mengakses dan membagikan informasi valid seperti yang ada di Solidernews.com.
"Respon masyarakat cukup baik. Banyak OYPMK yang membaca dan membagikan (tulisan) ke grup," tambah Mas Ajiwan.
Media Sebagai Ujung Tombak Lawan Hoax
Sayang sekali, saat ini masih banyak berita tidak benar (hoax) mengenai kusta. Ada yang bilang kusta adalah penyakit kutukan. Ada juga yang bilang sekali jabat tangan dengan penyintas kusta akan langsung tertular. Ada pula yang bilang kusta tidak bisa disembuhkan. Astaghfirullah.
"Sebagai masyarakat kita harus cerdas memilah dan memilih berita benar, salah satunya dengan verifikasi dengan cek fakta di Google," terang Mas Ajiwan.
Setuju banget, verifikasi informasi itu penting. Jangan sampai kita menelan mentah informasi yang didapat dari sosial media. Informasi yang dibagikan oleh banyak orang belum tentu benar. Segera cek fakta melalui media terpercaya, misalnya website pemerintah atau media online seperti Solider.
Namun di sisi lain, menjadi "orang di balik media" juga tidak mudah. Mas Ajiwan dan tim juga menghadapi beberapa tantangan. Yang pertama yaitu keberpihakan media masih minim. Sudah susah payah membuat postingan edukasi, tapi masyarakat lebih memilih cari info viral di medsos yang kebenarannya belum diketahui. Kedua, sumber daya manusia yang mau terlibat aktif (berkontribusi menulis kusta & difabel) juga masih minim.
Sebagai solusi, Solider mengajak penyintas kusta, blogger, penulis, dan masyarakat umum untuk terlibat aktif menyebarkan informasi positif. Solider menerima kontribusi tulisan yang akan ditayangkan di website sesuai jadwalnya. Kontributor bisa menulis tentang edukasi kusta dan difabel, event, berita, hingga pengalaman pribadi (khusus untuk penyintas).
Bagaimana, apakah peran media online dalam edukasi kusta sudah kamu rasakan?
Posting Komentar
Posting Komentar